Kamis, 22 Januari 2009

Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari


Kawasan Asia Tenggara dan kepulauan nusantara menjadi pusat penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh sejumlah ulama terkenal sejak abad pertengahan. Para ulama yang umumnya telah menimba ilmu di beberapa negara Timur Tengah, kemudian mengabdikan seluruh hidupnya untuk upaya menegakkan syariat Islam di nusantara.

Tersebar dari Aceh hingga Sulawesi, peranan para ulama dan guru agama tersebut sangatlah besar. Tidak hanya bagi pengembangan agama Islam, namun juga peningkatan kesadaran rakyat untuk berjuang melawan penindasan bangsa asing. Berdakwah sekaligus berjuang menjadi upaya tidak mengenal lelah para ulama ketika itu.

Pulau Kalimantan juga tercatat banyak melahirkan tokoh ulama terkemuka. Salah satu di antaranya yang cukup berjasa adalah Muhammad Nafis al-Banjari, seorang ulama besar ahli kalam dan tasawuf dari Kalimantan Selatan. Dengan dakwahnya serta pandangan-pandagannya ia berjasa dalam pengembangan agama Islam, khususnya di wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar pada abad 19.

Bernama lengkap Muhammad Nafis bin Idris bin Husein al-Banjari, lahir dari keluarga Kesultanan Banjar sekitar tahun 1148/1735. Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Demikian pula pendidikan awalnya. Namun besar kemungkinan dia sudah mengetahui pelajaran dasar agama di wilayah tempat tinggalnya sendiri. Namun yang pasti, sejak muda Nafis sudah belajar agama langsung di Mekkah.

Seperti halnya para ulama Jawa sekitar abad 17 dan 18, ia menimba ilmu kepada ulama-ulama terkenal, baik yang hanya singgah maupun menetap di Haramain (Mekkah dan Madinah). Berbagai cabang ilmu Islam, semisal tafsir, fiqih, hadis, usuluddin (teologi), dan tasawuf menjadi bidang kajiannya selama berada di tanah suci.

Ulama kondang yang pernah mengajarnya secara intensif adalah Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi al-Azhari (1717-1812) -- seorang ulama tasawuf terkenal di Mekkah yang kemudian menduduki jabatan Syech al-Islam dan Syech al-Azhar. Di samping itu, seperti tercantum dalam buku Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII karya Prof Dr Azyumardi Azra, sejumlah nama ulama juga sempat menjadi guru Nafis, yakni al-Sammani, Muhammad al-Jawhari, Muhammad Shiddiq bin Umar Khan, dan Abd al-Rahman bin Abd al-Aziz al-Maghribi.

Dalam mempelajari tasawuf, Muhammad Nafis telah mampu mencapai gelar Syech al-Mursyid, sebuah gelar yang memperkenankannya mengajarkan tasawuf kepada orang lain. Beberapa tahun kemudian, Nafis kembali ke kampung halamannya, Martapura. Di sana, dia mulai mengajarkan ilmu yang didapat di Mekkah kepada masyarakat Kalimantan Selatan.

Tak hanya itu, kegiatan menyebarluaskan ajaran agama juga dia lakukan dengan berdakwah hingga ke wilayah pedalaman. Ini yang kemudian membuat Nafis cepat dikenal masyarakat luas sebagai ulama pengembara.

Salah satu hasil dari kegiatan dakwahnya tersebut mencapai Kalua (kini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Tabalong), pada abad 19 telah menjelma menjadi pusat penyebaran Islam di Kalimantan Selatan bagian utara. Peranannya sangat besar dalam upaya pengembangan Islam di wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar. Hingga selanjutnya Nafis diberi gelar kehormatan Maulana al-Allamah al-Fakhamah al-Mursyid ila Tariq as-Salamah (Yang mulia, berilmu tinggi, terhormat, pembimbing) ke jalan kebenaran).

Sama halnya dengan para ulama Melayu-Indonesia yang lain, Muhammad Nafis mengikuti mazhab Syafi'i dan doktrin teologi Asy'ari. Beberapa tarekat pun diketahui mempunyai afiliasi dengan Nafis: seperti Qadiriyah, Syathariyah, Sammaniyah, Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah.

Pada waktu aktif mengajar, Muhammad Nafis juga terkenal sebagai seorang penganjur/aktivis jihad yang merupakan ciri utama neo-sufisme. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda pernah mengeluarkan larangan agar masyarakat Indonesia tidak membaca buku-buku karanga Nafis lantaran khawatir akan dapat memicu semangat perlawanan terhadap kolonial.

Sampai saat ini tidak ada catatan mengenai tahun kematiannya. Sejumlah data dan literatur cuma menyebutkan bahwa Muhammad Nafis meninggal dunia dan dikuburkan di Kelua, sebuah desa yang terletak 125 km dari ibu kota Banjarmasin. Desa yang pernah 'dibesarkannya'.

(Yusuf Assidiq)

Tidak ada komentar: