Kamis, 22 Januari 2009

Adab Ketika Bersama Mursyid

Kalian harus menjaga asosiasi dengan seorang Wali/
Mursyid Hakiki . Dalam pertemuan sohbet ,kalian harus
menjaga hatimu dari gibah dan menggunjing dan tak
boleh berbicara ditengah kehadirannya. Kalian juga tak
perlu menyibukkan diri dengan shalat sunah dan ibadah
sunah lainnya ketika sedang bersama Syaikh. Jagalah
kebersamaannya dalam segala hal, jangan berbicara
ketika mereka sedang berbicara, dengarkan apa yang
mereka katakana , jangan melihat apa yang mereka
miliki dirumah, terutama dikamar dan dapurnya.

Jangan berpaling pada Syaikh yang lain, tetapi
yakinlah bahwa Syaikhmu akan membawamu tiba di tujuan.
Jangan menyambungkan hatimu dengan Syaikh yang lain,
bisa saja kalian terluka karena melakukan hal itu.
Tinggalkan apapun yang kalian kumpulkan semasa kanak2.
Karena dalam menjaga kehadirat Syaikhmu, kalian tak
boleh menyimpan sesuatu didalam hatimu kecuali Allah
swt dan NamaNya.

Berbicara ditengah kehadiran Syaikh adalah “tarqul
adab”, bertentangan dengan adab kesopanan, biarkan
beliau sendiri yang memberikan pengajaran. Juga tidak
baik untuk berdiri dengan gaya yang tidak sopan atau
berdiri membelakanginya. Bahkan ketika beliau sedang
berbicara dengan orang lain dan sedang tidak
menghadap atau melihat kita. Kita harus menjaga sopan
santun, adab dan tingkah laku yang baik kepadanya,
jika kalian menjaga itu dengan baik, Allah akan
membalasnya dengan memberikan kehormat an padamu.

Carilah penghormatan dari Allah , bukan dari egomu.
Sebagaimana kalian menjaga kehormatan Syaikh,
hormatilah juga saudara2mu, bersikap rendah hati,
jangan mengulangi cerita gibah yang telah lewat lebih
dari 2 jam yang lalu.

Ketika Syaikh berjalan, jangan berjalan disampingnya,
apa tingkatanmu berani berbuat demikian. Berdirilah
dibelakangnya untuk menunjukkan kalian menghormatinya.
Jangan berkerumun dan menutup jalannya. Ketika Maulana
masuk kalian harus berdisiplin membuat barisan dalam
jarak tertentu untuk menunjukkan penghormatan
kepadanya, jangan berlarian seperti ayam.

Ketika duduk dihadapan Syaikh, jangan menjulurkan
kakimu kearahnya. Jangan coba2 untuk mengevaluasi
kata2 dan pengetahuan Awliya . Tak ada seorangpun yang
bisa mengevaluasi kata2 tingkat tinggi itu, karena
standar yang tak mungkin diraih orang biasa. Oleh
sebab itu jangan mencobanya untuk menembus dengan akal
kalian, sebab kalian akan menjadi orang yang fasik,
pelanggar karena terus menyangkal.

Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh

manusia yang akan bertambah bila diamalkan, salah satu pengamalannya adalah 
dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan. 
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu 
wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang 
tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas 

yang engkau mampu.


Berdekatan dan Berjamaah Bersama Mursyid

Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani an-Naqshbandi

Thariqat kita (Naqsybandi) berdasarkan pada asosiasi
dengan Syaikh. Ketika engkau bersama Syaikh, datanglah
kepadanya, meleburlah bersama realitasnya dan
bergabunglah dengan Syaikh dalam satu kesatuan. 
Melalui penyatuan ini engkau bersatu dengan Rasulullah
SAW, yang akan membimbing engkau ke dalam Samudera
Kesatuan Allah Yang Maha Kuasa. Kamu akan melepaskan
kepribadianmu dan menerima untuk menjadi TIDAK ADA.
 
Ini adalah metode Sufi yang sebenarnya. Tetapi di masa
kini semua menjadi salah kaprah.  Orang–orang berpikir
bahwa jika mereka memasuki thariqat, mereka harus
semakin memperlihatkankan siapa jati diri mereka,
untuk menjadi besar dan meraih kekuatan yang semakin
besar. Mereka pikir mereka harus membuktikan diri
mereka.  Thariqat Naqsybandi yang mulia menginginkan
semua itu ditarik dan membuat engkau menerima bahwa
sesungguhnya engkau adalah TIDAK ADA.
 
Wa min Allah at Tawfiq
 
 

Adab Penuntut Ilmu

Menuntut ilmu adalah satu keharusan bagi kita kaum muslimin. Banyak sekali dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, para penuntut ilmu dan yang mengajarkannya. Adab-adab dalam menuntut ilmu yang harus kita ketahui agar ilmu yang kita tuntut berfaidah bagi kita dan orang yang ada di sekitar kita sangatlah banyak. Adab-adab tersebut di antaranya adalah:

1. Ikhlas karena Allah SWT.

Hendaknya niat kita dalam menuntut ilmu adalah kerena Allah I dan untuk negeri akhirat. Apabila seseorang menuntut ilmu hanya untuk mendapatkan gelar agar bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi atau ingin menjadi orang yang terpandang atau niat yang sejenisnya, maka Rasulullah e telah memberi peringatan tentang hal ini dalam sabdanya e :

"Barangsiapa yang menuntut ilmu yang pelajari hanya karena Allah I sedang ia tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan mata-benda dunia, ia tidak akan mendapatkan bau sorga pada hari kiamat".( HR: Ahmad, Abu,Daud dan Ibnu Majah

Tetapi kalau ada orang yang mengatakan bahwa saya ingin mendapatkan syahadah (MA atau Doktor, misalnya ) bukan karena ingin mendapatkan dunia, tetapi karena sudah menjadi peraturan yang tidak tertulis kalau seseorang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi, segala ucapannya menjadi lebih didengarkan orang dalam menyampaikan ilmu atau dalam mengajar. Niat ini - insya Allah - termasuk niat yang benar.

2. Untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.

Semua manusia pada mulanya adalah bodoh. Kita berniat untuk meng-hilangkan kebodohan dari diri kita, setelah kita menjadi orang yang memiliki ilmu kita harus mengajarkannya kepada orang lain untuk menghilang kebodohan dari diri mereka, dan tentu saja mengajarkan kepada orang lain itu dengan berbagai cara agar orang lain dapat mengambil faidah dari ilmu kita.

Apakah disyaratkan untuk memberi mamfaat pada orang lain itu kita duduk dimasjid dan mengadakan satu pengajian ataukah kita memberi mamfa'at pada orang lain dengan ilmu itu pada setiap saat? Jawaban yang benar adalah yang kedua; karena Rasulullah e bersabda :

"Sampaikanlah dariku walupun cuma satu ayat (HR: Bukhari)
Imam Ahmad berkata: Ilmu itu tidak ada bandingannya apabila niatnya benar. Para muridnya bertanya: Bagaimanakah yang demikian itu? Beliau menjawab: ia berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.

3. Berniat dalam menuntut ilmu untuk membela syari'at.

Sudah menjadi keharusan bagi para penuntut ilmu berniat dalam menuntut ilmu untuk membela syari'at. Karena kedudukan syari'at sama dengan pedang kalau tidak ada seseorang yang menggunakannya ia tidak berarti apa-apa. Penuntut ilmu harus membela agamanya dari hal-hal yang menyimpang dari agama (bid'ah), sebagaimana tuntunan yang diajarkan Rasulullah e. Hal ini tidak ada yang bisa melakukannya kecuali orang yang memiliki ilmu yang benar, sesuai petunjuk Al-Qor'an dan As-Sunnah.

4. Lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat.

Apabila ada perbedaan pendapat, hendaknya penuntut ilmu menerima perbedaan itu dengan lapang dada selama perbedaan itu pada persoalaan ijtihad, bukan persoalaan aqidah, karena persoalaan aqidah adalah masalah yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan salaf. Berbeda dalam masalah ijtihad, perbedaan pendapat telah ada sejak zaman shahabat, bahkan pada masa Rasulullah e masih hidup. Karena itu jangan sampai kita menghina atau menjelekkan orang lain yang kebetulan berbeda pandapat dengan kita.

5. Mengamalkan ilmu yang telah didapatkan.

Termasuk adab yang tepenting bagi para penuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, karena amal adalah buah dari ilmu, baik itu aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Karena orang yang telah memiliki ilmu adalah seperti orang memiliki senjata. Ilmu atau senjata (pedang) tidak akan ada gunanya kecuali diamalkan (digunakan).

6. Menghormati para ulama dan memuliakan mereka.

Penuntut ilmu harus selalu lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Jangan sampai ia mengumpat atau mencela ulama yang kebetulan keliru di dalam memutuskan suatu masalah. Mengumpat orang biasa saja sudah termasuk dosa besar apalagi kalau orang itu adalah seorang ulama.

7. Mencari kebenaran dan sabar

Termasuk adab yang paling penting bagi kita sebagai seorang penuntut ilmu adalah mencari kebenaran dari ilmu yang telah didapatkan. Mencari kebenaran dari berita berita yang sampai kepada kita yang menjadi sumber hukum. Ketika sampai kepada kita sebuah hadits misalnya, kita harus meneliti lebih dahulu tentang keshahihan hadits tersebut. Kalau sudah kita temukan bukti bahwa hadits itu adalah shahih, kita berusaha lagi mencari makna (pengertian ) dari hadits tersebut. Dalam mencari kebenaran ini kita harus sabar, jangan tergesa-gasa, jangan cepat merasa bosan atau keluh kesah. Jangan sampai kita mempelajari satu pelajaran setengah-setengah, belajar satu kitab sebentar lalu ganti lagi dengan kitab yang lain. Kalau seperti itu kita tidak akan mendapatkan apa dari yang kita tuntut.

Di samping itu, mencari kebenaran dalam ilmu sangat penting karena sesungguhnya pembawa berita terkadang punya maksud yang tidak benar, atau barangkali dia tidak bermaksud jahat namun dia keliru dalam memahami sebuah dalil.Wallahu 'Alam.

Tarekat Syadziliyah

Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.

Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.

Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.

Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.

Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.

Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).

Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.

Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.

Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:

Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.

Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.

Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.

Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.

Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.

Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.

Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."

Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri "ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.

Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.

Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.

Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat "dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah bimbingan guru.

Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah.

Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.

Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.

Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.

Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:

Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!

Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."

Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri.

Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau 0hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.

Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.

Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.

Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.

Melacak Jejak Tariqat Sammaniyah Di Kalsel

Menurut bahasa tariqat berarti jalan menuju kebenaran, ilmu kebajikan agama, persaudaraan dalam kebaktian pada kerohanian.

Abu Bakar Atjeh menyatakan bahwa tariqat adalah jalan, petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh nabi dan dikerjakan oleh sahabat serta tabi’in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai-berantai. Dengan kata lain tariqat dapat pula diartikan sebagai suatu metode praktis untuk menuntun (membimbing) seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan dan tindakan, terkendali terus-menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqomat) untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya.

Di Indonesia tariqat yang dianggap sahih dan dapat diterima dikelompokkan sebagai tariqat mu’tabarah. Salah satu di antara tariqat mu’tabarah yang cukup pesat perkembangannya di Banua kita adalah tariqat Sammaniyah. Tariqat Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Abdul Karim Samman Al Madani (1718-1775). Syekh Samman adalah seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Dia di bai’at menjadi pengikut berbagai tariqat di samping tariqat Khalwatiyah (terutama Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah), dan memadukan berbagai unsur dari tariqat-tariqat tersebut menjadi cabang tariqat Khalwatiyah yang khas dan berdiri sendiri, yang akhirnya disebut dengan tariqat Sammaniyah.

Murid Indonesianya yang paling ternama adalah Syekh Abdus Samad Al Falimbani, dan biasa dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan tariqat Sammaniyah di Nusantara, terutama daerah Sumatera.

Ciri-ciri tariqat ini menurut Abu Bakar Atjeh adalah zikirnya yang keras-keras dengan suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu melakukan zikir laa ilaha illallah, di samping itu juga terkenal dengan ratib Samman yang hanya mempergunakan perkataan Hu, yaitu Dia Allah.

Menurut Snouck Hurgronye, bahwa Syekh Samman disamping ada ratib Samman lebih populer lagi di Aceh dengan Hikayat Samman dan Ratib Samman yang kemudian diintegrasikan ke dalam suatu permainan rakyat yang terkenal dengan nama seudati (tarian).

Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Samman antara lain adalah: memperbanyak shalat dan zikir, berlemah lembut kepada fakir miskin, jangan mencintai dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rubbaniyah, dan tauhid kepada Allah dalam zat, sifat dan af’al-Nya.

Di Kalimantan Selatan (Banjarmasin), besar kemungkinan tariqat Sammaniyah inilah yang pertama kali masuk dan berkembang. Asumsi ini diperkuat oleh tiga alasan penting. Pertama, umumnya ratib yang dibaca dan diamalkan oleh masyarakat Islam Banjar dari dulu hingga sekarang lebih di dominasi oleh ratib Samaniyah. Hal ini terbukti dari hasil observasi awal Jamhari (dari PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang melacak adanya empat jenis ratib yang selaras dengan ratib Samman.

Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa ratib Samaan tersebut sudah sangat populer dan diketahui oleh masyarakat luas. Kedua, boleh jadi bahwa beratib beamal dan beratib beilmu melalui praktik wirid untuk memperoleh bekal ilmu guna menghadapi Belanda yang dilakukan oleh Penghulu Abdul Rasyid dan pengikutnya ketika terjadi pemberontakan pada bulan Oktober 1861 di Amuntai dan sekitarnya adalah ratib yang biasa dibaca dan diamalkan oleh para pengikut tariqat Sammaniyah, walaupun untuk itu belum ditemukan data-data yang akurat. Ketiga, nilai dan ajaran tariqat Sammaniyah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perjuangan umat Islam di daerah ini ketika melawan penjajah Belanda, terutama kepada para pengikut Datu Aling (di Muning Rantau) dan P Antasari. Karena itu ucapan "haram manyarah, waja sampai kaputing", boleh jadi adalah implementasi dari nilai-nilai ajaran tasawuf/tariqat dimaksud.

Sementara itu ulama besar Banjar yang dianggap berjasa membawa dan mengembangkan tariqat Sammaniyah menurut penulis ada tiga. Pertama adalah Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari, dengan berbagai alasan.

Pertama, adanya kemiripan adab dan tatacara berzikir yang umumnya dilakukan oleh pengikut tariqat Sammaniyah dengan materi isi risalah Kanzul Ma’rifah yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad. Menurut HM Asywadie Syukur risalah Kanzul Ma’rifah tersebut memuat tentang tatacara zikir dan adab berzikir. Sebelum berzikir lebih dahulu bersuci dari najis dan hadas, mengucapkan istigfar, berpakaian yang berwarna putih, di tempat yang sunyi sepi, sebelumnya mengerjakan sholat sunnat dua rakaat. Duduk bersila, menghadap ke arah kiblat dan meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lutut lalu mengucapkan zikir yang berbunyi laa ilaha illallah dengan menghadirkan maknanya dalam hati. Berikutnya kalau zikir dalam bentuk ini telah mantap beralih lagi ke lafal lain dengan hanya menyebut Allah, Allah, Allah, —dan seterusnya— dan zikir yang seperti ini dapat dilaksanakan di sepanjang waktu dan keadaan sehingga pada setiap nafas yang ke luar diisi dengan zikir. Pada saat menyebut kata hu pada setiap akhir kalimat tauhid, dipanjangkan sedikit sambil merasakan bahwa dirinya lenyap, begitu pula dengan ingatannya, selain kepada Allah (ma siwallah) dan kulliyah (jati dirinya) karena berada di dalam ke Esaan zat Allah yang nantinya akan memperoleh jazbah (tarikan) Allah.

Inilah perolehan jiwa yang paling utama yang semuanya itu hasil kasyaf. Risalah Kanzul Ma’rifah ini belum pernah dicetak dan menurut berita telah dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh (Idwar Saleh, 1980).

Kedua, kitab tasawuf Syekh Muhammad Arsyad Kanzul Ma’rifah tersebut belum pernah dicetak dan dipublikasikan, sehingga gambaran yang lengkap tentang ajarannya di bidang tasawuf tidak diketahui secara pasti. Namun sebagaimana pengakuan dari Karel A. Steenbrink (Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, 1989: 96) bisa diduga bahwa sebagai pembawa tariqat Sammaniyah tasawufnya tidak akan jauh berbeda dengan yang diajarkan oleh temannya Syekh Abdus Samad Al Falimbani.

Ketiga, menurut Zafri Zamzam selama lebih kurang tigapuluh tahun belajar di Mekkah Syekh M. Arsyad telah berguru ilmu tasawuf secara langsung kepada Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al-Madani, sebagaimana dinyatakan dalam Hikayat Syekh Muhammad Samman, dan mendapatkan ijazah khalifah. Gelar ini merupakan bukti yang kuat, izin, sekaligus pengakuan dari gurunya bahwa Syekh Muhammad Arsyad berhak untuk mengajarkan tariqat Sammaniyah.

Keempat, apabila dilakukan penelusuran maka terlihat bahwa di antara ulama-ulama keturunan-keturunan dari Syekh Muhammad Arsyad adalah juga penganut taruiqat Sammaniyah. Zuriat beliau yang sekarang aktif mengembangkan tariqat Sammaniyah adalah "Guru Sekumpul" (Al Allamah K.H.M. Zaini Abdul Ghani), yang belajar dari keturunan beliau yang lain, yakni "Guru Bangil" (Al Allamah K.H. Syarwani Abdan) hingga pada saat sekarang ini perkembangan tariqat Sammaniyah semakin luas. Walaupun Martin van Bruinessen (Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, 1999: 66) meyakini bahwa keberadaan tariqat Sammaniyah di Kalimantan Selatan adalah berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis. Karena dalam karya-karya Syekh Muhammad Arsyad yang telah diterbitkan tidak ada yang mengisyaratkan secara khusus tentang tariqat Sammaniyah. Boleh jadi keyakinan Martin van Bruinessen ini disebabkan karena ia belum pernah membaca risalah Kanzul Ma’rifah karena belum dicetak dan dipublikasikan secara luas sebagaimana dijelaskan di atas.

Kemudian ulama kedua sesudah Syekh Muhammad Arsyad yang berjasa dan dianggap sebagai pembawa tariqat Sammaniyah adalah Syekh Muhammad Nafis bin Idris al-Banjari, sebagaimana pengakuan Martin van Bruinessen, dan dengan beberapa alasan.

Pertama, dalam bidang ilmu tasawuf dan tariqat ketika belajar di Mekkah, Syekh Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh Abdullah Ibn Hijazi al-Syarkawi al-Misri, Syekh Siddiq Ibn Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al-Madani, Syekh Abdurrahman Ibn Abdul Aziz al-Maghribi dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al-Jauhari. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tariqat ia seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Abdussamad Al Falimbani.

Kedua, dalam kitab tasawuf Al Durr al Nafis fi Bayan Wahdat al Af’al wa al Asma’ wa al Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis, yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf, dengan mengutamakan tauhidul sifat, zat dan af’al dan ditulisnya pada tahun 1200 H atau 1785 M ketika masih belajar di Mekkah, termaktub pengakuannya bahwa Syafi’i adalah mazhab fiqihnya, Asy’ary i’tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah tariqatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya.

Ketiga, sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam Tariqat Sammaniyah (Zafri Zamzam, 1979), maka Muhammad Nafispun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tariqat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid. Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan tasawuf dan tariqat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Durrun Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al Allamah al Fahhamah al Mursyid ila Tariq al Salamah al Syekh Muhammad Nafis Ibn Idris al Banjari.

Keempat, boleh jadi bahwa salah satu faktor mengapa pemerintah Belanda pernah melarang beredar dan dipelajarinya kitab tasawuf Durrun Nafis oleh masyarakat Banjar, adalah karena dianggap akan membangkitkan semangat perjuangan umat Islam. Hal ini adalah salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan bertariqat mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir. Karenanya kita dapat lihat bahwa berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis, dalam abad XVIII dan abad XIX daerah Kelua dikenal sebagai pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan merebut kemerdekaan. Di samping itu Kelua juga dikenal sebagai daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur.

Sedangkan ulama ketiga yang juga penulis anggap sebagai pembawa tariqat Sammaniyah dan mempunyai andil terhadap perkembangannya di banua kita ini adalah Syekh Abdul Wahab Bugis. Walaupun data-data yang mengungkapkan tentang keberadaan dan peranan tokoh ini di Banjarmasin masih minim, namun ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dalil.

Pertama, Syekh Abdul Wahab Bugis adalah menantu dari Syekh Muhammad Arsyad, sehingga ketika ia menyelesaikan belajarnya di Mekkah dan bersama-sama pulang dengan teman-temannya yang disebut sebagai empat serangkai (yakni Abdus Samad Al Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari serta Syekh Abdurrahman Mashri dari Jakarta), tidak pulang ke daerah asalnya Bugis (Sulawesi Selatan), tetapi menurut Zafri Zamzam dan Abu Daudi ia ikut Syekh Muhammad Arsyad Ke Banjarmasin/Martapura. Karena itu besar kemungkinan ia ikut membantu Syekh Muhammad Arsyad menyampaikan dakwah ke tengah masyarakat dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya di Mekkah. Rasionalitasnya, jika Syekh Abdul Wahab Bugis seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad dan pernah mengkaji tasawuf atau tariqat yang sama yakni Sammaniyah, maka tidak mustahil ketika ia berada di Martapura, ia ikut menyebarkannya. Dengan demikian tidak mungkin Syekh Abdul Wahab berdiam diri, tanpa mengamalkan ilmunya ke tengah-tengah masyarakat.

Kedua, Menurut Martin van Bruinessen tokoh pertama yang membawa masuk tariqat Khalwatiyah-Sammaniyah ke Sulawesi Selatan adalah Syekh Yusuf Makassar dan Syekh Yusuf Bogor. Informasi ini memberi kita petunjuk bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis tidak pulang ke Sulawesi Selatan untuk menyebarkan ilmunya, sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Syekh Abdus Samad Al Falimbani dan dianggap sebagai pembawa tariqat Sammaniyah di daerahnya Sumatera (Palembang dan sekitarnya). Karenanya besar kemungkinan ia mengamalkan ilmunya di daerah kita, walaupun data yang merujuk ke sana masih kabur.

Dari penjelasan di atas kesimpulan yang menarik untuk menjadi bahan renungan adalah bahwa keberadaan atau jejak sejarah perkembangan tariqat sammaniyah di dalam masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) khususnya adalah, bahwa dalam perkembangan Islam di Indonesia —terutama di daerah dan banua kita Banjar— banyak para ahli yang menyatakan lebih didominasi oleh tariqat, yang dibawa langsung oleh ulama-ulama pribumi setelah mereka mukim dan belajar di Mekkah, Madinah atau Mesir. Karena itu perlu untuk dikaji dan diteliti kembali secara lebih mendalam dan komprehensif tentang sejarah perkembangan dan pengaruh tariqat tersebut (terutama tariqat Sammaniyah). Karena tariqat sebagai bagian dari tasawuf jelas tidak diragukan lagi peranannya dalam membimbing, membina dan mendidik jiwa-jiwa manusia muslim yang paripurna dan memiliki nilai-nilai kerohanian yang tinggi. Wallahua’lam

(Dosen Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin

Tuan Guru H. M. Zaini Abd. Ghani (Guru Ijai)



Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abd. Ghani bin Al 'arif Billah Abd. Ghani bin H. Abd. Manaf bin Muh. Seman bin H. M, Sa'ad bin H. Abdullah bin 'Alimul 'allamah Mufti H. M. Khalid bin 'Alimul 'allamah Khalifah H. Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad; dilahirkan pada, malam Rabu 27 Muharram, 1361 H (I I Februari 1942 M).

Nama kecilnya adalah Qusyairi, sejak kecil beliau termasuk dari salah seorang yang "mahfuzh", yaitu suatu keadaan yang sangat jarang sekali terjadi, kecuali bagi orang orang yang sudah dipilih oleh Allah SWT.

Beliau adalah salah seorang anak yang mempunyai sifat sifat dan pembawaan yang lain daripada yang lainnya, diantaranya adalah bahwa beliau tidak pernah ihtilam.

'Alimul 'allamah Al Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abd Ghani sejak kecil selalu berada disamping kedua orang tua dan nenek beliau yang benama Salbiyah. Beliau dididik dengan penuh kasih sayang dan disiplin dalam pendidikan, sehingga dimasa kanak kanak beliau sudah mulai ditanamkan pendidikan Tauhid dan Akhlaq oleh ayah dan nenek beliau. Beliau belajar membaca AI Quran dengan nenek beliau, dengan demikian guru pertama dalam bidang ilmu Tauhid dan Akhlaq adalah ayah dan nenek beliau sendiri.

Meskipun kehidupan kedua orang tua beliau dalam keadaan ekonomi sangat lemah, namun mereka selalu memperhatikan untuk turut membantu dan meringankan beban guru yang mengajar anak mereka membaca Al Quran, sehingga setiap malamnya beliau selalu membawa bekal botol kecil yang berisi minyak tanah untuk diberikan kepada Guru yang mengajar AI Quran.

Dalam usia kurang lebih 7 tahun beliau sudah mulai belajar di madrasah Darussalam Martapura.

Guru guru'Alimul'allamah Al 'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani :

Ditingkat Ibtida adalah: Guru Abd Mu'az, Guru Sulaiman, Guru Muh. Zein, Guru H. Abd. Hamid Husin, Guru H. Mahalli, Guru H. Rafi'I, Guru Syahran, Guru H. Husin Dakhlan, Guru H. Salman Yusuf

Ditingkat Tsanawiyah adalah: 'Alimul Fadhil H. Sya'rani'Arif, 'Alimul Fadhil H, Husin Qadri, 'Alimul Fadhil H. Salilm Ma'ruf, 'Alimul Fadhil H. Seman Mulya, 'Alimul Fadhil H. Salman Jalil.

Guru dibidang Tajwid ialah: 'Alimul Fadhil H. Sya'rani 'Arif, 'Alimul Fadhil At Hafizh H. Nashrun Thahir, 'Al-Alim H. Aini Kandangan.

Guru Khusus adalah: 'Alimul'allamah H. Muhammad Syarwani Abdan, 'Alimul'allamah Asy Syekh As Sayyid Muh. Amin Kutby.

Sanad sanad dalam berbagai bidang ilmu dan Thariqat diterima dari:

Kyai Falak (Bogor), 'Alimul'allamah Asy Syekh Muh Yasin Padang (Mekkah). 'Alimul'allamah As Syekh Hasan Masysyath, 'Alimul'allamah Asy Syekh Isma'il Yamani dan 'Alimul'allamah Asy Syekh Abd. Qadir Al Baar.

5. Guru pertama secara Ruhani ialah: 'Alimul 'allamah Ali Junaidi (Berau) bin 'Alimul Fadhil Qadhi H. Muhammad Amin bin 'Alimul 'allamah Mufti H. Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad, dan 'Alimul 'allamah H. Muhammad Syarwani Abdan.

Kemudian 'Alimullailamah H. Muhammad Syarwani Abdan menyerahkan kepada Kiayi Falak dan seterusnya Kiayi Falak menyerahkan kepada 'Alimul'allamah Asy Syekh As Sayyid Muh. Amin Kutby, kemudian beliau menyerahkan kepada Syekh Muhammad Arsyad yang selanjutnya langsung dipimpin oleh Rasulullah saw.

Atas petunjuk 'Alimul'allamah Ali Junaidi, beliau dianjurkan untuk belajar kepada 'Alimul Fadhil H. Muhammad (Gadung) bin 'Alimul Fadhil H. Salman Farlisi bin 'Allimul'allamah Qadhi H. Mahmud bin Asiah binti Syekh Muhammad Arsyad, mengenal masalah Nur Muhammad; maka dengan demikian diantara guru beliau tentang Nur Muhammad antara lain adalah 'Alimul Fadhil H. M. Muhammad tersebut diatas.

Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa apa yang ada didalam atau yang terdinding.

Dan dalam usia itu pula beliau didatangi oleh seseorang bekas pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat mengejutkan keluarga di rumah beliau. Namun apa yang terjadi, laki-laki tersebut ternyata ketika melihat beliau langsung sungkem dan minta ampun serta memohon minta dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang selama itu ia amalkan, jika salah atau sesat minta dibetulkan dan diapun minta agar supaya ditobatkan.

Mendengar hal yang demikian beliau lalu masuk serta memberitahukan masalah orang tersebut kepada ayah dan keluarga, di dalam rumah, sepeninggal beliau masuk kedalam ternyata tamu tersebut tertidur.

Setelah dia terjaga dari tidurnya maka diapun lalu diberi makan dan sementara tamu itu makan, beliau menemui ayah beliau dan menerangkan maksud dan tujuan kedatangan tamu tersebut. Maka kata ayah beliau tanyakan kepadanya apa saja ilmu yang dikajinya. Setelah selesai makan lalu beliau menanyakan kepada tamu tersebut sebagaimana yang dimaksud oleh ayah beliau dan jawabannva langsung beliau sampaikan kepada ayah beliau. Kemudian kata ayah beliau tanyakan apa lagi, maka jawabannyapun disampaikan beliau pula. Dan kata ayah beliau apa lagi, maka setelah berulamg kali di tanyakan apa lagi ilmu yang ia miiki maka pada akhirnya ketika beliau hendak menyampaikan kepada tamu tersebut, maka tamu tersebut tatkala melihat beliau mendekat kepadanya langsung gemetar badannya dan menangis seraya minta tolong ditobatkan dengan harapan Tuhan mengampuni dosa dosanya.

Pernah rumput rumputan memberi salam kepada beliau dan menyebutkan manfaatnya untuk pengobatan dan segalanya, begitu pula batu-batuan dan besi. Namun kesemuanya itu tidaklah beliau perhatikan dan hal hal yang demikian itu beliau anggap hanya merupakan ujian dan cobaan semata dari Allah SWT.

Dalam usia 14 tahun, atau tepatnya masih duduk di Kelas Satu Tsanawiyah, beliau telah dibukakan oleh Allah swt atau futuh, tatkala membaca Tafsir: Wakanallahu syamiiul bashiir.

'Alimul'allamah Al-'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani, yang sejak kecilnya hidup ditengah keluarga yang shalih, maka sifat sifat sabar, ridha, kitmanul mashaib, kasih sayang, pemurah dan tidak pemarah sudah tertanam dan tumbuh subur dijiwa beliau; sehingga apapun yang terjadi terhadap diri beliau tidak pernah mengeluh dan mengadu kepada orang tua, sekalipun beliau pernah dipukuli oleh orang-orang yang hasud dan dengki kepadanya.

Beliau adalah seorang yang sangat mencintai para ulama dan orang orang yang shalih, hal ini tampak ketika beliau masih kecil, beliau selalu menunggu tempat tempat yang biasanya 'Alimul Fadhil H. Zainal Ilmi lewati pada hari-hari tertentu ketika hendak pergi ke Banjarmasin semata mata hanya untuk bersalaman dan mencium tangan tuan Guru H. Zainal Ilmi.

Dimasa remaja 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. M Zaini Abd Ghani pernah bertemu dengan Saiyidina Hasan dan Saiyidina Husin yang keduanva masing-masing membawakan pakaian dan memasangkan kepada beliau lengkap dengan sorban dari lainnya. Dan beliau ketika itu diberi nama oleh keduanya dengan nama Zainal 'Abidin.

Setelah dewasa. maka tampaklah kebesaran dan keutamaan beliau dalam berbagai hal dan banyak pula orang yang belajar. Para Habaib yang tua tua, para ulama dan guru-guru yang pernah mengajari beliau, karena mereka mengetahui keadaan beliau yang sebenarnya dan sangat sayang serta hormat kepada beliau.

'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani adalah seorang ulama yang menghimpun antara wasiat, thariqat dari haqiqat, dan beliau seorang yang Hafazh AI Quran beserta hafazh Tafsirnya, yaitu Tafsir Al Quran Al 'Azhim Lil-Imamain Al Jalalain. Beliau seorang ulama yang masih termasuk keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang menghidupkan kembali ilmu dan amalan-amalan serta Thariqat yang diamalkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Karena itu majelis pengajian beliau, baik majelis tali'm maupun majelis 'amaliyahnya adalah seperti majelis Syekh Abd. Kadir al-Jilani.

Sifat lemah lembut, kasih sayang, ramah tamah, sabar dan pemurah sangatlah tampak pada diri beliau, sehingga beliau dikasihi dan disayangi oleh segenap lapisan masyarakat, sababat dan anak murid.

Kalau ada orang yang tidak senang melihat akan keadaan beliau dan menyerang dengan berbagai kritikan dan hasutan maka beliaupun tidak peniah membalasnya. Beliau hanya diam dan tidak ada reaksi apapun, karena beliau anggap mereka itu belum mengerti, bahkan tidak mengetahuu serta tidak mau bertanya.

Tamu tamu yang datang kerumah beliau, pada umumnya selalu beliau berikan jamuan makan, apalagi pada hari-hari pengajian, seluruh murid murid yang mengikuti pengajian yang tidak kurang dari 3000 an, kesemuanya diberikan jamuan makan. Sedangkan pada hari hari lainnya diberikan jamuan minuman dan roti.

Beliau adalah orang yang mempunyai prinsip dalam berjihad yang benar benar mencerminkan apa apa yang terkandung dalam Al Quran, misalnya beliau akan menghadiri suatu majelis yang sifatnya da'wah Islamivah, atau membesarkan dan memuliakan syi'ar agama Islam. Sebelum beliau pergi ketempat tersebut lebih dulu beliau turut menyumbangkan harta beliau untuk pelaksanaannya, kemudian baru beliau dating. Jadi benar benar beliau berjihad dengan harta lebih dahulu, kemudian dengan anggota badan. Dengan demikian beliau benar benar meamalkan kandungan Al Quran yang berbunyi: Wajaahiduu bi'amwaaliku waanfusikum fii syabilillah.

'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani, adalah satu satunya Ulama di Kalimantan, bahkan di Indonesia yang mendapat izin untuk mengijazahkan (baiat) Thariqat Sammaniyah, karena itu banyaklah yang datang kepada beliau untuk mengambil bai'at thariqat tersebut, bukan saja dari Kalimantan, bahkan dari pulau Jawa dan daerah lainnya.

'Alimul'allamah Al 'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani dalam mengajar dan membimbing umat baik laki-laki maupun perempuan tidak mengenal lelah dan sakit. Meskipun dalam keadaan kurang sehat beliau masih tetap mengajar.

Dalam membina kesehatan para peserta pengajian dalam waktu waktu tertentu beliau datangkan doktcr dokter spesialis untuk memberiikan penyuluhan kesehatan sebelum pengajian dimulai. Seperti dokter spesialls jantung, paru paru, THT, mata, ginjal, penyakit dalam, serta dokter ahli penyakit menular dan lainnya. Dengan demikian beliau sangatlah memperhatikan kesehatan para peserta pengajian dari kesehatan lingkungan tempat pengajian.

Karomah- Karomahnya

Ketika beliau masih tinggal di Kampung Keraton, biasanya setelah selesai pembacaan maulid, beliau duduk-duduk dengan beberapa orang yang masih belum pulang sambil bercerita tentang orang orang tua dulu yang isi cerita itu untuk dapat diambil pelajaran dalam meningkatkan amaliyah.

Tiba tiba beliau bercerita tentang buah rambutan, pada waktu itu masih belum musimnya; dengan tidak disadari dan diketaui oleh yang hadir beliau mengacungkan tangannya kebelakang dan ternyata ditangan beliau terdapat sebuah buah rambutan yang masak, maka heranlah semua yang hadir melihat kejadian akan hal tersebut. Dan rambutan itupun langsung beliau makan.

Ketika beliau sedang menghadiri selamatan dan disuguh jamuan oleh shahibulbait maka tampak ketika, itu makanan, tersebut hampir habis beliau makan, namun setelah piring tempat makanan itu diterima kembali oleh yang melayani beliau, ternyata, makanan yang tampak habis itu masih banyak bersisa dan seakan akan tidak dimakan oleh beliau

Pada suatu musim kemarau yang panjang, dimana hujan sudah lama tidak turun sehingga sumur sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah masyarakat ketika itu dan mengharap agar hujan bisa secara turun.

Melihat hal yang demikian banyak orang yang datang kepada beliau mohon minta doa beliau agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon pisang yang masih berada didekat rumah beliau itu, maka beliau goyang goyangkan lah pohon pisang tersebut dan ternyata tidak lama kemudian, hujanpun turun dengan derasnya.

Ketika pelaksanaan Haul Syekh Muhammad Arsyad yang ke 189 di Dalam pagar Martapuram, kebetulan pada masa itu sedang musim hujan sehingga membanjiri jalanan yang akan dilalui oleh 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy Syeikh H. M. Zaini Abd. Ghani menuju ketempat pelaksanaan haul tersebut, hal ini sempat mencemaskan panitia pelaksanaan haul tersebut, dan tidak disangka sejak pagi harinya jalanan yang akan dilalui oleh beliau yang masih digenangi air sudah kering, sehingga dengan mudahnya beliau dan rombongan melewati jalanan tersebut; dan setelah keesokan harinya jalanan itupun kembali digenangi air sampai beberapa hari.

Banyak orang orang yang menderita sakit seperti sakit ginjal, usus yang membusuk, anak yang tertelan peniti, orang yang sedang hamil dan bayinya jungkir serta meninggal dalam kandungan ibunya, sernuanya ini menurut keterangan dokter harus dioperasi. Namun keluarga mereka pergi minta do'a dan pertolongan. 'Allimul'allamah 'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani. Dengan air yang beliau berikan kesemuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa dioperasi.

Demlklanlah diantara karamah dan kekuasaan Tuhan yang ditunjukkan kepada diri seorang hamba yang dikasihiNya. ***

(Abu Daudi)

Karya tulis beliau adalah :

- Risalah Mubarakah.

- Manaqib Asy-Syekh As-Sayyid Muharnmad bin Abd. Karim Al-Qadiri Al Hasani As Samman Al Madani.

- Ar Risalatun Nuraniyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah.

- Nubdzatun fi Manaqibil Imamil Masyhur bil Ustadzil a'zham Muhammad bin Ali Ba-'Alwy.

Wasiat Tuan Guru K.H. M. Zaini Abdul Ghoni

1. Menghormati ulama dan orang tua,

2. Baik sangka terhadap muslimin,

3. Murah hati,

4. Murah harta,

5. Manis muka,

6. Jangan menyakiti orang lain,

7. Mengampunkan kesalahan orang lain,

8. Jangan bermusuh-musuhan,

9. Jangan tamak / serakah,

10. Berpegang kepada Allah, pada Qobul segala hajat,

11. Yakin keselamatan itu pada kebenaran,

SYAIKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI

Nama Syaikh Muhammad Arsyad menempati hati masyarakat Kalimantan dan Indoensia sebagai ulama besar dan pengembang ilmu pengetahuan dan agama. Belum ada tokoh yang mengalahkan kepopuleran nama Syaih Arsyad Al-Banjari. Karya-karyanya hinga kini tetap dibaca orang di masjid dan disebut-sebut sebagai rujukan. Nama kitabnya Sabilal Muhtadin diabadikan untuk nama Masjid Agung Banjarmasin. Nama kitabnya yan lain Tuhfatur Raghibin juga diabadikan untuk sebuah masjid yang tak jauh dari makan Syaikh Arsyad. Tak hanya itu, hampir seluruh ulama di Banjarmasin masih memiliki tautan dengannya. Baik sebagai keturunan atau muridnya. Sebut saja nama almarhum K.H. Zaini, yang dikenal dengan nama Guru Ijay itu, adalah keturunan Syaikh Arsyad. Hampir semua ulama di Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Malaysia, pernah menimba ilmu dari syaikh atau dari murid-murid syaikh.

Ulama yang memiliki nama lengkap Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman Al-Banjari itu ternyata memang bukan orang biasa. Ia adalah cicit Sayid Abu Bakar bin Sayid Abdullah Al-’Aidrus bin Sayid Abu Bakar As-Sakran bin Saiyid Abdur Rahman As-Saqaf bin Sayid Muhammad Maula Dawilah Al-’Aidrus. Silisahnya kemudian sampai pada Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah. Dengan demikian Syaikh Arsyad masih memiliki darah keturunan Rasulullah.

Abdullah tercatat sebagai pemimpin peperangan melawan Portugis, kemudian ikut melawan Belanda lalu melarikan diri bersama isterinya ke Lok Gabang (Martapura). Dalam riwayat lain menyebut bahwa apakah Sayid Abu Bakar As-Sakran atau Sayid Abu Bakar bin Sayid `Abdullah Al-’Aidrus yang dikatakan berasal dari Palembang itu kemudian pindah ke Johor, dan lalu pindah ke Brunei Darussalam, Sabah, dan Kepulauan Sulu, yang kemudian memiliki keturunan kalangan sultan di daerah itu. Yang jelas, para sultan itu masih memiliki tali temali hubungan dengan Syaikh Arsyad yang berinduk ke Hadramaut, Yaman. Bapaknya Abdullah merupakan seorang pemuda yang dikasihi sultan (Sultan Hamidullah atau Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah 1700-1734 M).

Bapaknya bukan asal orang Banjar,tetapi datang dari India mengembara untuk menyebarkan Dakwah,Belia seorang ahli seni ukiran kayu. Semasa ibunya hamil,kedua Ibu Bapaknya sering berdo’a agar dapat melahirkan anak yang alim dan zuhud. Setelah lahir,Ibu Bapaknya mendidik dengan penuh kasih sayang setelah mendapat anak sulung yg dinanti-nantikan ini. Beliau dididik dengan dendangan Asmaul-Husna,disamping berdo’a kepada Allah.Setelah itu diberikan pendidikan al-qur’an kepadanya. Kemudian barulah menyusul kelahiran adik-adiknya yaitu ; ’Abidin, Zainal abidin, Nurmein, Nurul Amein.

Muhammad Arsyad lahir di Banjarmasin pada hari Kamis dinihari, pukul 03.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H atau 17 Maret 1710 M.

Semasa Kecil

Sejak kecil, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari Cergas dan Cerdas serta mempunyai akhlak yang baik dan terpuji. Kehebatan beliau sejak kecil ialah dalam bidang seni Lukis dan seni tulis, sehingga siapa saja yang melihat karyanya akan merasa kagum dan terpukau.

Pada suatu hari, sultan mengadakan kunjungan kekampung-kampung, Pada saat baginda sampai kekampung lok Gabang, Baginda berkesempatan melihat hasil karya lukisan Muhammad Arsyad yang indah lagi memukau hati itu. justeru Sultan berhajat untuk memelihara dan mendidik Muhammad Arsyad yang tatkala itu baru berusia 7 tahun.

Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang soleha bernam Tuan Bajut, Hasil perkawinan beliau memperoleh seorang putri yang diberinam Syarifah.

Beliau telah meneruskan pengembaraan ilmunya ke Mekah selama 30 tahun dan Madinah selama 5 tahun. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh sultan.

Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut adalah Syeikh `Abdus Shamad Al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman Al-Mashri Al-Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab Bugis (yang kemudian menjadi menantu Syaikh). Guru yang banyak disebut adalah Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani Al-Madani. Selama belajar di Mekah Syeikh Arsyad tinggal di sebuah rumah di Samiyah yang dibeli oleh Sultan Banjar. Syeikh Arsyad juga belajar kepada guru-guru Melayu di Arab Saudi, seperti Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok Al-Fathani (Thailand Selatan), Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin Al-Falimbani.
Hampir semua ilmu keislaman yang telah dipelajari di Mekah dan Madinah mempunyai sanad atau silsilah hingga ke pengarangnya. Hal ini cukup jelas seperti yang ditulis oleh Syeikh Yasin bin Isa Al-Fadani (Padang, Sumatera Barat) dalam beberapa buah karya beliau. Selain bukti berupa karya-karyanya, juga dapat diambil jasa-jasanya membuka mata rakyat Banjar atau dunia Melayu.

Rekan-rekan Arsyad selama di Mekah kemudian juga menjadi ulama terkenal. Syeikh `Abdus Shamad Al-Falimbani pengarang Sayrus Salaikin, Syeikh `Abdur Rahman Al-Mashri Al-Batawi (akkek Sayid `Utsman bin Yahya, Mufti Betawi yang terkenal), Syeikh Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjari, pengarang kitab Ad-Durrun Nafis, Syeikh Muhammad Shalih bin `Umar As-Samarani (Semarang) yang digelar dengan Imam Ghazali Shaghir (Imam Ghazali Kecil), Syeikh `Abdur Rahman bin `Abdullah bin Ahmad At-Tarmasi (Termas, Jawa Timur), Syeikh Haji Zainuddin bin `Abdur Rahim Al-Fathani (Thailand Selatan), dan banyak lagi.

Penulisan

Tradisi kebanyakan ulama, ketika mereka belajar dan mengajar di Mekah, sekali gus menulis kitab di Mekah juga. Lain halnya dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari, walaupun dipercayai bahawa beliau juga pernah mengajar di Mekah, namun karya yang dihasilkannya ditulis di Banjar sendiri. Lagi pula nampaknya beliau lebih mencurahkan khidmat derma baktinya di tempat kelahirannya sendiri yang seolah-olah tanggungjawab rakyat Banjar terbeban di bahunya. Ketika mulai pulang ke Banjar, sememangnya beliau sangat sibuk mengajar dan menyusun segala macam bidang yang bersangkut-paut dengan dakwah, pendidikan dan pentadbiran Islam. Walaupun begitu beliau masih sempat menghasilkan beberapa buah karangan.

Karya-karya Syeikh Arsyad banyak ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Jawi yang memang diperuntukkan untuk bangsanya. Meskipuin ia memiliki kemampuan menulis berbagai kitab dalam bahasa Arab, tapi, ia lebih suka menuliskannya dalam bahasa Jawi. Ia mengajarkan kitab-kitab semacam Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali kepada para muridnya.

Karangannya yang sempat dicatat adalah seperti berikut di bawah ini:

  1. Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu’minin wa ma Yufsiduhu Riddah ar-Murtaddin, diselesaikan tahun 1188 H/1774 M
  2. Luqtah al-’Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-Nis-yan, diselesaikan tahun 1192 H/1778 M.
  3. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, diseselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H/1780 M
  4. Risalah Qaul al-Mukhtashar, diselesaikan pada hari Khamis 22 Rabiulawal 1196 H/1781 M.
  5. Kitab Bab an-Nikah.
  6. Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi
  7. Kanzu al-Ma’rifah
  8. Ushul ad-Din
  9. Kitab al-Faraid
  10. Hasyiyah Fat-h al-Wahhab
  11. Mushhaf al-Quran al-Karim
  12. Fat-h ar-Rahman
  13. Arkanu Ta’lim as-Shibyan
  14. Bulugh al-Maram
  15. Fi Bayani Qadha’ wa al-Qadar wa al-Waba’
  16. Tuhfah al-Ahbab
  17. Khuthbah Muthlaqah Pakai Makna. Kitab ini dikumpulkan semula oleh keturunannya, Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, Singapura, tanpa dinyatakan tarikh cetak.

Ada pun karyanya yang pertama, iaitu Tuhfah ar-Raghibin, kitab ini sudah jelas atau pasti karya Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari bukan karya Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani seperti yang disebut oleh Dr. M. Chatib Quzwain dalam bukunya, Mengenal Allah Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syeikh Abdus Samad AI-Falimbani, yang berasal daripada pendapat P. Voorhoeve. Pendapat yang keliru itu telah saya bantah dalam buku Syeikh Muhammad Arsyad (l990). Dasar saya adalah bukti-bukti sebagai yang berikut:

  1. Tulisan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, “Maka disebut oleh yang empunya karangan Tuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imanil Mu’minin bagi `Alim al-Fadhil al-’Allamah Syeikh Muhammad Arsyad.”
  2. Tulisan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari dalam Syajaratul Arsyadiyah, “Maka mengarang Maulana (maksudnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, pen :)itu beberapa kitab dengan bahasa Melayu dengan isyarat sultan yang tersebut, seperti Tuhfatur Raghibin …” Pada halaman lain, “Maka Sultan Tahmidullah Tsani ini, ialah yang disebut oleh orang Penembahan Batu. Dan ialah yang minta karangkan Sabilul Muhtadin lil Mutafaqqihi fi Amrid Din dan Tuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imani Mu’minin wa Riddatil Murtaddin dan lainnya kepada jaddi (Maksudnya: datukku, pen :)al-’Alim al-’Allamah al-’Arif Billah asy-Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari.”
  3. Pada cetakan Istanbul, yang kemudian dicetak kembali oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, Singapura tahun 1347 H, iaitu cetakan kedua dinyatakan, “Tuhfatur Raghibin … ta’lif al-’Alim al-’Allamah asy-Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.” Di bawahnya tertulis, “Telah ditashhihkan risalah oleh seorang daripada zuriat muallifnya, iaitu `Abdur Rahman Shiddiq bin Muhammad `Afif mengikut bagi khat muallifnya sendiri …”. Di bawahnya lagi tertulis, “Ini kitab sudah cap dari negeri Istanbul fi Mathba’ah al-Haji Muharram Afandi”.
  4. Terakhir sekali Mahmud bin Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari mencetak kitab Tuhfah ar-Raghibin itu disebutnya cetakan yang ketiga, nama Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari tetap dikekalkan sebagai pengarangnya.

Daripada bukti-bukti di atas, terutama yang bersumber daripada Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani dan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq adalah cukup kuat untuk dipegang kerana kedua-duanya ada hubungan dekat dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari itu. Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani adalah sahabat Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari sedangkan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq pula adalah keturunan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari. Mengenai karya-karya Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari yang tersebut dalam senarai, insya-Allah akan dibicarakan pada kesempatan yang lain.

Masih banyak lagi tulisan dan catatan syaikh yang disimpan kalangan muridnya yang kemudian diterbitkan di Istambul (Turki), Mesir, Arab Saudi, Mumbai (Bombai), Singapura, dan kemudian Jakarta Surabaya, dan Cirebon. Di samping itu beliau menulis satu naskah al Quranul Karim tulisan tentang beliau sedikit, yang sampai sekarang masih terpelihara dengan baik.

Keturunan

Zurriyaat (anak dan cucu) beliau banyak sekali yang menjadi ulama besar, pemimpin-pemimpin, yang semuanya teguh menganut Madzhab Syafi’i sebagai yang di wariskan oleh Syeikh Muhammad Arsyad Banjar.
Diantara zurriyat beliau yang kemudian menjadi ulama besar turun temurun adalah :
l . H. Jamaluddin, Mufti, anak kandung, penulis kitab “perukunan Jamaluddin”.
2. H. Yusein, anak kandung, penulis kitab “Hidayatul Mutafakkiriin”.
3. H. Fathimah binti Arsyad, anak kandung, penulis kitab “Perukunan Besar”, tetapi namanya tidak ditulis dalam kitab itu.
4. H. Abu Sa’ud, Qadhi.
5. H. Abu Naim, Qadhi.
6. H. Ahmad, Mufti.
7. H. Syahabuddin, Mufti.
8. H.M. Thaib, Qadhi.
9. H. As’ad, Mufti.
10. H. Jamaluddin II., Mufti.
11. H. Abdurrahman Sidiq, Mufti Kerajaan Indragiri Sapat (Riau), pengarang kitab “Risalah amal Ma’rifat”, “Asranus Salah”, “Syair Qiyamat”, “Sejarah Arsyadiyah” dan lain lain.
12. H.M. Thaib bin Mas’ud bin H. Abu Saud, ulama Kedah, Malaysia, pengarang kitab “Miftahul jannah”.
13. H. Thohah Qadhi-Qudhat, penbina Madrasah “Sulamul ‘ulum’, Dalam Pagar Martapura.
14. H.M. Ali Junaedi, Qadhi.
15. Gunr H. Zainal Ilmi.
16. H. Ahmad Zainal Aqli, Imam Tentara.
17. H.M. Nawawi, Mufti.
18. Dan lain-lain banyak lagi.

Semuanya yang tersebut di atas adalah zurriyat-zurrivat Syeikh Arsyad yang menjadi ulama dan sudah berpulang ke rahmatullah.
Sebagai kami katakan di atas, Syeikh Mubammad Arsyad bin Al Banjari dan sesudah beliau, zurriyat-zariyat beliau adalah penegak-penegak Madzhab Syafi’i dan faham Ahlussunna,h wal Jama’ah, khususnya di Kalimantan.

Syaikh Arsyad wafat pada 6 Syawal 1227 H atau 3 Oktober 1812 M. Beliau meninggal dunia pada usia 105 tahun dengan meninggalkan sumbangan yang besar terhadap masyarakat islam di Nusantara.

Makamnya dianggap keramat dan hingga kini masih diziarahi orang. Haulnya pada Syawwal lalu dihadiri Menteri Agama RI H. Muhamamd Maftuch Basyuni bersama ribuan masyarakat, termasuk dari Malaysia, Sumatera, dan Jawa.

Mudah-mudahan Allah menurunkan rahmat kepada keluarga mereka dan kita semuanya, amin-amin.

Kemasyuran syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122-1227 H / sekitar 1702-1807 M ) Tidak hanya didalam negri,tetapi juga di luar negri.Bahkan karya nya,kitab fiqih sabilal muhtadin,dikaji masyarakat jawi (melayu) di arab dan org belanda memberikan gelar kepadanya atas keahlian ilmu agama dgn panggilan khusus "Tuan Haji Besar" beliau adalah anak sulung dari pasangan Abdullah bin abu bakar dan aminah dia lahir pada 15 shaffar 1122 H/19 maret 1710 di kampung lok gabang (dekat martapura kab banjar) nama kecilnya Muhammad ja'far,tetapi setelah di asuh sultan Tahmidullah bin sultan Tahlilullah (sultan banjar 1700-1734 M) berganti nama Muhammad Arsyad.
Ada cerita nya mengapa ja'far kecil yg baru berusia 7th diasuh sultan,saat sultan berkunjung ke kampung lok gabang beliau melihat lukisan/kaligrafi yg menawan maka sultan ingin bertemu dgn pelukis nya,beliau kaget karna lukisan itu karya anak umur 7th maka di asuh lah ja'far kecil oleh sultan dan di ganti namanya jd Muhammad Arsyad. Sultan sangat menyayangi bahkan tidur pun di jaga pengawal,konon pengawal pernah melihat Arsyad kecil tidur tiba2 badan nya terangkat setingg 1 hasta dgn reflek pengawal tangkap badannya,Arsyad kecil menangis dan terbangun rupa nya dia mimpi akan di bawa seorang tua kelangit. setelah akil baligh,Arsyad di kawinkan dgn seorg putri yg shalihah,putri bajut.Ketika mengandung tua,istrinya ditinggal arsyad muda untuk menunaikan ibadah haji dan belajar ilmu agama di makkah.Kelak istrinya melahirkan anak perempuan yg di beri nama syarifah.
Di makkah,dia belajar kpd syaikh Atha'illah,pengarang kitab HIKAM,serta syaikh sulaiman Al kurdi,pengarang berbagai kitab fiqih yg sampai sekarang banyak dipelajari pesantren di indonesia.Dibidang tasawuf dia belajar kepada syaikh Muhammad bin Abdul karim As Samman Al madani,dan mendapatkan ijazah serta kedudukan khalifah dlm tarekat Syammaniyah. Sebenarnya sekitar 15 guru yg semua alim di dua kota suci Makkah dan madinah dan dia menguasai 35 bidang ilmu,fiqh,tafsir,falak,tasawuf,nahwu dan sharaf,faraidh(ilmu waris)dll.
Sekitar 29thn dimakkah melanjutkan belajar di universitas Al Azhar mesir bersama syaikh Abdussamad Al palembani mereka dimadinah bertemu syaikh Abdurrahman Al mishri dari banten dan syaikh Abdul Wahab bugis dari makasar. Ketika berguru kpd syaikh suliman Al kurdi mereka sdh dianggap cukup dan tak ada lg guru yg melebihi ilmu mereka.Ulama fiqih dari madinah itu meminta mereka pulang untuk mengembangkan Islam di kampung masing2,dan tdk perlu kemesir. Ketika akan pulang kekampung mampir kemakkah dulu melaksanakan haji,disana bertemu dgn adik nya,Zainal Abidin, ngasih tau bahwa istrinya yg ditinggalkan hamil melahirkan anak perempuan sekarang sdh akil baligh,maka ke 3 teman nya berniat jd menantu syaikh Arsyad,maka di undi dan syaikh Abdul Wahab Bugis yg beruntung jd menantunya.Keduanya dinikahkan atas dasar wali mujbir (wali/ortu yg menikahkan anak putrinya dgn org yg blm dikenalnya).
Sekitar bulan maret 1772 M sampai di betawi berdakwah keberbagai pelosok,salah satu jasanya membetulkan arah kiblat Masjid jembatan lima dipalingkan kekanan 25 derajat peristiwa tsb tertulis dlm prasasti dimasjid tgl 4 shaffar 1186H/7 mei 1772 selain itu dia juga membetulkan arah kiblat masjid luar batang dan masjid Pekojan.
Kejadian itu menarik perhatian belanda untuk menguji kepandaiannya,maka dia diundang dlm satu majlis,seperti sidang ujian doktor.Semua pertanyaan org belanda bs di jwb dgn memuaskan akhirnya di kasih gelar "Tuan Haji Besar".
beliau pulang dgn menantunya dan kawan yg lain pulang kekampung masing2,pada ramadhan 1186/desember 1772 M.
Kedatangan 2 ulama besar itu disambut hangat oleh pangeran Nata Dilaga bin Sultan Tamjidillah sultan banjar saat itu,begitu juga keluarga dan rakyat banjar.
Putri bajut,yg 29 thn tak jumpa suaminya menangis haru,begitu jg syarifah dgn seorang anak kecil.Cucunya ! Syarifah telah dikawinkan dgn usman dimartapura dgn wali hakim.Syaikh Arsyad kaget,ternyata dia memiliki cucu,sedangkan dimakkah dia telah mengawinkan putrinya dgn syaikh Abdul Wahab bugis,lalu mana yg sah ? Akhirnya dgn kepandaian ilmu falaknya,dihitung kapan mereka menikah.Ternyata hari,bulan,tahun nya sama.Namun setelah diperbandingkan antara waktu martapura dan makkah,pernikahan dimakkah lebih dulu,karna itulah pernikahan dgn usman dibatalkan dan syarifah jd istri sah syaikh Abdul Wahab.Usman menerima kenyataan itu dgn ikhlas karena kepatuhan nya kpd ilmu sang alim ini.Selanjutnya ulama yg dipanggil "Datuk kalampayan " ini langsung mlaksanakan kegiatan mengajar umat dlm menegakkan ajaran Ahlussunnah wal jama'ah yg dipusatkan dikampung dalampagar,martapura.Dia sekaligus ikut mengangkat taraf hidup masyarakat dibidang pertanian,dgn membuat irigasi.Dia kirim santri2 yg sdh mampu untuk nyebarkan dakwah Syaikh Arsyad Al Banjari ke kaltim,kalteng,kalbar,kalut(brunai skarang).Hasil karya Beliau Al-Qur'an 14 qiraah dan kitab fiqih Sabilal Muhtadin.Kurang lebih 41thn beliau berdakwah akhirnya pada malam selasa 6syawal1227/1807M,antara magrib dan isya kembalilah jaddina(leluhur kita)MAULANA SYAIKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI dengan jiwa yg damai memenuhi panggilan ILLAHI.