Kamis, 22 Januari 2009

Melacak Jejak Tariqat Sammaniyah Di Kalsel

Menurut bahasa tariqat berarti jalan menuju kebenaran, ilmu kebajikan agama, persaudaraan dalam kebaktian pada kerohanian.

Abu Bakar Atjeh menyatakan bahwa tariqat adalah jalan, petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh nabi dan dikerjakan oleh sahabat serta tabi’in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai-berantai. Dengan kata lain tariqat dapat pula diartikan sebagai suatu metode praktis untuk menuntun (membimbing) seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan dan tindakan, terkendali terus-menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqomat) untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya.

Di Indonesia tariqat yang dianggap sahih dan dapat diterima dikelompokkan sebagai tariqat mu’tabarah. Salah satu di antara tariqat mu’tabarah yang cukup pesat perkembangannya di Banua kita adalah tariqat Sammaniyah. Tariqat Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Abdul Karim Samman Al Madani (1718-1775). Syekh Samman adalah seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Dia di bai’at menjadi pengikut berbagai tariqat di samping tariqat Khalwatiyah (terutama Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah), dan memadukan berbagai unsur dari tariqat-tariqat tersebut menjadi cabang tariqat Khalwatiyah yang khas dan berdiri sendiri, yang akhirnya disebut dengan tariqat Sammaniyah.

Murid Indonesianya yang paling ternama adalah Syekh Abdus Samad Al Falimbani, dan biasa dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan tariqat Sammaniyah di Nusantara, terutama daerah Sumatera.

Ciri-ciri tariqat ini menurut Abu Bakar Atjeh adalah zikirnya yang keras-keras dengan suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu melakukan zikir laa ilaha illallah, di samping itu juga terkenal dengan ratib Samman yang hanya mempergunakan perkataan Hu, yaitu Dia Allah.

Menurut Snouck Hurgronye, bahwa Syekh Samman disamping ada ratib Samman lebih populer lagi di Aceh dengan Hikayat Samman dan Ratib Samman yang kemudian diintegrasikan ke dalam suatu permainan rakyat yang terkenal dengan nama seudati (tarian).

Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Samman antara lain adalah: memperbanyak shalat dan zikir, berlemah lembut kepada fakir miskin, jangan mencintai dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rubbaniyah, dan tauhid kepada Allah dalam zat, sifat dan af’al-Nya.

Di Kalimantan Selatan (Banjarmasin), besar kemungkinan tariqat Sammaniyah inilah yang pertama kali masuk dan berkembang. Asumsi ini diperkuat oleh tiga alasan penting. Pertama, umumnya ratib yang dibaca dan diamalkan oleh masyarakat Islam Banjar dari dulu hingga sekarang lebih di dominasi oleh ratib Samaniyah. Hal ini terbukti dari hasil observasi awal Jamhari (dari PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang melacak adanya empat jenis ratib yang selaras dengan ratib Samman.

Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa ratib Samaan tersebut sudah sangat populer dan diketahui oleh masyarakat luas. Kedua, boleh jadi bahwa beratib beamal dan beratib beilmu melalui praktik wirid untuk memperoleh bekal ilmu guna menghadapi Belanda yang dilakukan oleh Penghulu Abdul Rasyid dan pengikutnya ketika terjadi pemberontakan pada bulan Oktober 1861 di Amuntai dan sekitarnya adalah ratib yang biasa dibaca dan diamalkan oleh para pengikut tariqat Sammaniyah, walaupun untuk itu belum ditemukan data-data yang akurat. Ketiga, nilai dan ajaran tariqat Sammaniyah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perjuangan umat Islam di daerah ini ketika melawan penjajah Belanda, terutama kepada para pengikut Datu Aling (di Muning Rantau) dan P Antasari. Karena itu ucapan "haram manyarah, waja sampai kaputing", boleh jadi adalah implementasi dari nilai-nilai ajaran tasawuf/tariqat dimaksud.

Sementara itu ulama besar Banjar yang dianggap berjasa membawa dan mengembangkan tariqat Sammaniyah menurut penulis ada tiga. Pertama adalah Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari, dengan berbagai alasan.

Pertama, adanya kemiripan adab dan tatacara berzikir yang umumnya dilakukan oleh pengikut tariqat Sammaniyah dengan materi isi risalah Kanzul Ma’rifah yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad. Menurut HM Asywadie Syukur risalah Kanzul Ma’rifah tersebut memuat tentang tatacara zikir dan adab berzikir. Sebelum berzikir lebih dahulu bersuci dari najis dan hadas, mengucapkan istigfar, berpakaian yang berwarna putih, di tempat yang sunyi sepi, sebelumnya mengerjakan sholat sunnat dua rakaat. Duduk bersila, menghadap ke arah kiblat dan meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lutut lalu mengucapkan zikir yang berbunyi laa ilaha illallah dengan menghadirkan maknanya dalam hati. Berikutnya kalau zikir dalam bentuk ini telah mantap beralih lagi ke lafal lain dengan hanya menyebut Allah, Allah, Allah, —dan seterusnya— dan zikir yang seperti ini dapat dilaksanakan di sepanjang waktu dan keadaan sehingga pada setiap nafas yang ke luar diisi dengan zikir. Pada saat menyebut kata hu pada setiap akhir kalimat tauhid, dipanjangkan sedikit sambil merasakan bahwa dirinya lenyap, begitu pula dengan ingatannya, selain kepada Allah (ma siwallah) dan kulliyah (jati dirinya) karena berada di dalam ke Esaan zat Allah yang nantinya akan memperoleh jazbah (tarikan) Allah.

Inilah perolehan jiwa yang paling utama yang semuanya itu hasil kasyaf. Risalah Kanzul Ma’rifah ini belum pernah dicetak dan menurut berita telah dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh (Idwar Saleh, 1980).

Kedua, kitab tasawuf Syekh Muhammad Arsyad Kanzul Ma’rifah tersebut belum pernah dicetak dan dipublikasikan, sehingga gambaran yang lengkap tentang ajarannya di bidang tasawuf tidak diketahui secara pasti. Namun sebagaimana pengakuan dari Karel A. Steenbrink (Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, 1989: 96) bisa diduga bahwa sebagai pembawa tariqat Sammaniyah tasawufnya tidak akan jauh berbeda dengan yang diajarkan oleh temannya Syekh Abdus Samad Al Falimbani.

Ketiga, menurut Zafri Zamzam selama lebih kurang tigapuluh tahun belajar di Mekkah Syekh M. Arsyad telah berguru ilmu tasawuf secara langsung kepada Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al-Madani, sebagaimana dinyatakan dalam Hikayat Syekh Muhammad Samman, dan mendapatkan ijazah khalifah. Gelar ini merupakan bukti yang kuat, izin, sekaligus pengakuan dari gurunya bahwa Syekh Muhammad Arsyad berhak untuk mengajarkan tariqat Sammaniyah.

Keempat, apabila dilakukan penelusuran maka terlihat bahwa di antara ulama-ulama keturunan-keturunan dari Syekh Muhammad Arsyad adalah juga penganut taruiqat Sammaniyah. Zuriat beliau yang sekarang aktif mengembangkan tariqat Sammaniyah adalah "Guru Sekumpul" (Al Allamah K.H.M. Zaini Abdul Ghani), yang belajar dari keturunan beliau yang lain, yakni "Guru Bangil" (Al Allamah K.H. Syarwani Abdan) hingga pada saat sekarang ini perkembangan tariqat Sammaniyah semakin luas. Walaupun Martin van Bruinessen (Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, 1999: 66) meyakini bahwa keberadaan tariqat Sammaniyah di Kalimantan Selatan adalah berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis. Karena dalam karya-karya Syekh Muhammad Arsyad yang telah diterbitkan tidak ada yang mengisyaratkan secara khusus tentang tariqat Sammaniyah. Boleh jadi keyakinan Martin van Bruinessen ini disebabkan karena ia belum pernah membaca risalah Kanzul Ma’rifah karena belum dicetak dan dipublikasikan secara luas sebagaimana dijelaskan di atas.

Kemudian ulama kedua sesudah Syekh Muhammad Arsyad yang berjasa dan dianggap sebagai pembawa tariqat Sammaniyah adalah Syekh Muhammad Nafis bin Idris al-Banjari, sebagaimana pengakuan Martin van Bruinessen, dan dengan beberapa alasan.

Pertama, dalam bidang ilmu tasawuf dan tariqat ketika belajar di Mekkah, Syekh Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh Abdullah Ibn Hijazi al-Syarkawi al-Misri, Syekh Siddiq Ibn Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al-Madani, Syekh Abdurrahman Ibn Abdul Aziz al-Maghribi dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al-Jauhari. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tariqat ia seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Abdussamad Al Falimbani.

Kedua, dalam kitab tasawuf Al Durr al Nafis fi Bayan Wahdat al Af’al wa al Asma’ wa al Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis, yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf, dengan mengutamakan tauhidul sifat, zat dan af’al dan ditulisnya pada tahun 1200 H atau 1785 M ketika masih belajar di Mekkah, termaktub pengakuannya bahwa Syafi’i adalah mazhab fiqihnya, Asy’ary i’tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah tariqatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya.

Ketiga, sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam Tariqat Sammaniyah (Zafri Zamzam, 1979), maka Muhammad Nafispun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tariqat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid. Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan tasawuf dan tariqat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Durrun Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al Allamah al Fahhamah al Mursyid ila Tariq al Salamah al Syekh Muhammad Nafis Ibn Idris al Banjari.

Keempat, boleh jadi bahwa salah satu faktor mengapa pemerintah Belanda pernah melarang beredar dan dipelajarinya kitab tasawuf Durrun Nafis oleh masyarakat Banjar, adalah karena dianggap akan membangkitkan semangat perjuangan umat Islam. Hal ini adalah salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan bertariqat mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir. Karenanya kita dapat lihat bahwa berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis, dalam abad XVIII dan abad XIX daerah Kelua dikenal sebagai pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan merebut kemerdekaan. Di samping itu Kelua juga dikenal sebagai daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur.

Sedangkan ulama ketiga yang juga penulis anggap sebagai pembawa tariqat Sammaniyah dan mempunyai andil terhadap perkembangannya di banua kita ini adalah Syekh Abdul Wahab Bugis. Walaupun data-data yang mengungkapkan tentang keberadaan dan peranan tokoh ini di Banjarmasin masih minim, namun ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dalil.

Pertama, Syekh Abdul Wahab Bugis adalah menantu dari Syekh Muhammad Arsyad, sehingga ketika ia menyelesaikan belajarnya di Mekkah dan bersama-sama pulang dengan teman-temannya yang disebut sebagai empat serangkai (yakni Abdus Samad Al Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari serta Syekh Abdurrahman Mashri dari Jakarta), tidak pulang ke daerah asalnya Bugis (Sulawesi Selatan), tetapi menurut Zafri Zamzam dan Abu Daudi ia ikut Syekh Muhammad Arsyad Ke Banjarmasin/Martapura. Karena itu besar kemungkinan ia ikut membantu Syekh Muhammad Arsyad menyampaikan dakwah ke tengah masyarakat dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya di Mekkah. Rasionalitasnya, jika Syekh Abdul Wahab Bugis seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad dan pernah mengkaji tasawuf atau tariqat yang sama yakni Sammaniyah, maka tidak mustahil ketika ia berada di Martapura, ia ikut menyebarkannya. Dengan demikian tidak mungkin Syekh Abdul Wahab berdiam diri, tanpa mengamalkan ilmunya ke tengah-tengah masyarakat.

Kedua, Menurut Martin van Bruinessen tokoh pertama yang membawa masuk tariqat Khalwatiyah-Sammaniyah ke Sulawesi Selatan adalah Syekh Yusuf Makassar dan Syekh Yusuf Bogor. Informasi ini memberi kita petunjuk bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis tidak pulang ke Sulawesi Selatan untuk menyebarkan ilmunya, sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Syekh Abdus Samad Al Falimbani dan dianggap sebagai pembawa tariqat Sammaniyah di daerahnya Sumatera (Palembang dan sekitarnya). Karenanya besar kemungkinan ia mengamalkan ilmunya di daerah kita, walaupun data yang merujuk ke sana masih kabur.

Dari penjelasan di atas kesimpulan yang menarik untuk menjadi bahan renungan adalah bahwa keberadaan atau jejak sejarah perkembangan tariqat sammaniyah di dalam masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) khususnya adalah, bahwa dalam perkembangan Islam di Indonesia —terutama di daerah dan banua kita Banjar— banyak para ahli yang menyatakan lebih didominasi oleh tariqat, yang dibawa langsung oleh ulama-ulama pribumi setelah mereka mukim dan belajar di Mekkah, Madinah atau Mesir. Karena itu perlu untuk dikaji dan diteliti kembali secara lebih mendalam dan komprehensif tentang sejarah perkembangan dan pengaruh tariqat tersebut (terutama tariqat Sammaniyah). Karena tariqat sebagai bagian dari tasawuf jelas tidak diragukan lagi peranannya dalam membimbing, membina dan mendidik jiwa-jiwa manusia muslim yang paripurna dan memiliki nilai-nilai kerohanian yang tinggi. Wallahua’lam

(Dosen Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin

Tidak ada komentar: